LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN THALASEMIA
A.
Pengertian
Thalassemia
adalah sekelompok kelainan darah herediter yang ditandai dengan berkurangnya
atau tidak ada sama sekali
sintesis rantai globin, sehingga
menyebabkan Hb berkurang dalam sel-sel darah merah, penurunan produksi sel-sel
darah merah dan anemia. Kebanyakan
thalassemia diwariskan sebagai sifat resesif. (Renzo Galanello)
Thalassemia merupakan suatu kelainan
bawaan sintesis hemoglobin (Hb). (Mohammad Azhar Ibrahim Kharza)
Talasemia merupakan penyakit anemia
hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah
sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari).
Penderita
Talasemia mempunyai masalah dengan jumlah globin yang disintesis terlalu
sedikit, sedangkan “anemia sel sabit” (hemoglobinopathy atau kelainan pada
hemoglobin) adalah masalah kualitatif dari sintesis globin yang berfungsi tidak
benar. Talasemia biasanya menyebabkan rendahnya produksi protein-protein globin
yang normal. sering kali melalui mutasi pada gen pengatur. Hemoglobinopathy
(kelainan pada hemoglobin) menunjukan kelainan struktural dalam protein globin
itu sendiri. Dua kondisi bisa terjadi overlap, namun, karena sebagian kondisi
yang menyebabka abnormalitas pada protein-protein globin (hemoglobinopathy)
juga mempengaruhi pada hasilnya (talasemia).
B.
Etiologi
Penyebab
kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia); dan
kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang di sebabkan
oleh:
1. gangguan
structural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misalnya pada Hb S, Hb
F, Hb D dan sebagainya.
2. gangguan
jumlah (salah satu/ beberapa) globin seperti pada talasemia.
Kedua kelainan ini sering dijumpai
bersama-sama pada orang seorang pasien seperti talasemia Hb S atau talasemia Hb
F. penyakit ini banyak di jumpai pada bangsa- bangsa disekitar laut tengah
seperti turki, yunani, Cyprus dan lain-lain. Di Indonesia talasemia cukup
banyak di jumpai bahkan dikatakan merupakan yang paling banyak penderitanya dai
pasien penyakit darah lainnya.
Klasifikasi
Secara
klinik talasemia di bagi menjadi 2 golongan sebagai berikut:
1. Talasemia
mayor, memberikan gejala klinik yang jelas
2. Talasemia
minor, biasanya memberikan gejala klinik yang tidak jelas.
Pada talasemia terjadi kelainan pada gen-gen yang mengatur
pembentukan dari rantai globin sehingga produksinya terganggu. Gangguan dari
pembentukan rantai globin ini akan mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah
yang pada akhirnya akan menimbulkan pecahnya sel darah tersebut. Berdasarkan
dasar klasifikasi tersebut, maka terdapat beberapa jenis talasemia, yaitu
talasemia alfa, beta, dan delta.
1. Talasemia alfa
Pada talasemia alfa,
terjadi penurunan sintesis dari rantai alfa globulin. Dan kelainan ini
berkaitan dengan delesi pada kromosom 16. Akibat dari kurangnya sintesis rantai
alfa, maka akan banyak terdapat rantai beta dan gamma yang tidak berpasangan
dengan rantai alfa. Maka dapat terbentuk tetramer dari rantai beta yang disebut
HbH dan tetramer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts. Talasemia alfa
sendiri memiliki beberapa jenis
a.
Delesi pada empat rantai alfa
Dikenal juga sebagai hydrops
fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb Barts. Gejalanya dapat berupa ikterus,
pembesaran hepar dan limpa, dan janin yang sangat anemis. Biasanya, bayi yang
mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam setelah kelahirannya atau dapat
juga janin mati dalam kandungan pada minggu ke 36-40. Bila dilakukan
pemeriksaan seperti dengan elektroforesis didapatkan kadar Hb
adalah 80-90% Hb Barts, tidak ada HbA maupun HbF.
b.
Delesi pada tiga rantai alfa
Dikenal juga sebagai HbH
disease biasa disertai dengan anemia hipokromik mikrositer. Dengan banyak
terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam eritrosit sehingga
dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. Jika dilakukan pemeriksaan
mikroskopis dapat dijumpai adanya Heinz Bodies.
c.
Delesi pada dua rantai alfa
Juga dijumpai adanya
anemia hipokromik mikrositer yang ringan. Terjadi penurunan dari HbA2 dan
peningkatan dari HbH.
d.
Delesi pada satu rantai alfa
Disebut sebagai silent carrier
karena tiga lokus globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal.
2. Talasemia beta
Disebabkan
karena penurunan sintesis rantai beta. Dapat dibagi berdasarkan tingkat
keparahannya, yaitu talasemia mayor, intermedia, dan karier. Pada kasus
talasemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi. Mungkin saja pada awal
kelahirannya,anak-anak talasemia mayor tampak normal tetapi penderita akan mengalami anemia berat mulai usia 3-18 bulan. Jika tidak diobati, bentuk
tulang wajah berubah dan warna kulit menjadi hitam. Selama hidupnya penderita
akan tergantung pada transfusi darah. Ini dapat berakibat fatal, karena efek
sampingan transfusi darah terus menerus yang berupa kelebihan zat besi (Fe) Salah satu ciri fisik dari penderita
talasemia adalah kelainan tulang yang berupa tulang pipi masuk ke dalam dan
batang hidung menonjol (disebut gacies cooley), penonjolan dahi dan jarak kedua
mata menjadi lebih jauh, serta tulang menjadi lemah dan keropos.
C.
Tanda
dan Gejala
Secara klinis Thalasemia
dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya gejala klinis : mayor,
intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara tingkatan
tersebut sering tidak jelas.
Anemia berat menjadi
nyata pada umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa
ditransfusi. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah
merah berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa
yang membesar meningkatkan kebutuhan darah dengan menambah penghancuran sel
darah merah dan pemusatan (pooling) dan dengan menyebabkan pertambahan volume
plasma.
Perubahan pada tulang
karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan,
terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi darah. Deformitas
tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan
berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi
biasanya buruk.
Gejala lain yang tampak
ialah anak lemah, pucat, perkembanga fisik tidak sesuai umur, berat badan
kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat transfusi darah
kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan
kulit.
Keadaan klinisnya lebih
baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia mayor, anemia sedang
(hemoglobin 7 – 10,0 g/dl). Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali,
eritropoesis ekstra medular dan gambaran kelebihan beban besi nampak pada masa
dewasa. Umumnya tidak dijumpai
gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia mikrositin, bentuk heterozigot
tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
1.
Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
2.
Thalasemia intermedia
3.
Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
D.
Patofisiologi Thalasemia
Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan
sekunder. Penyebab primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis
yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler.
Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam folat,bertambahnya volume
plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit
oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan
adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari
hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara
transfusi berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis
yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.
§ Normal hemoglobin adalah terdiri
dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpa dan dua rantai beta.
§ Pada Beta thalasemia yaitu tidak
adanya atau kurangnya rantai Beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada
gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen.
§ Ada suatu kompensator yang
meninghkatkan dalam rantai alpa, tetapi rantai Beta memproduksi secara terus
menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektive. Ketidakseimbangan
polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini
menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis.
§ Kelebihan pada rantai alpa pada
thalasemia Beta dan Gama ditemukan pada thalasemia alpa. Kelebihan rantai
polipeptida ini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit. Globin
intra-eritrositk yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai
polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz,
merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
§ Reduksi dalam hemoglobin
menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang
konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropoitik aktif.
Kompensator produksi RBC terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan
cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan distruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan
mudah pecah atau rapuh.
E.
Pemeriksaan
Penunjang
· Hasil apusan darah tepi didapatkan
gambaran perubahan-perubahan sel darah merah, yaitu mikrositosis, anisositosis, hipokromi,
poikilositosis, kadar besi dalam serum meninggi, eritrosit yang imatur, kadar
Hb dan Ht menurun. Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran
hipokrom mikrositik, anisositosis, polklilositosis dan adanya sel target
(fragmentasi dan banyak sel normoblas). Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya
ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol Elektroforesis
hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga
hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga
mempunyai HbE maupun HbS. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat
meningkat karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis. Penyelidikan sintesis
alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan peningkatan nyata ratio
alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai beta.
· Elektroforesis hemoglobin:
hemoglobin klien mengandung HbF dan A2 yang tinggi, biasanya lebih dari 30 %
kadang ditemukan hemoglobin patologis.
F.
Penatalaksanaan Thalasemia
§ Hingga kini belum ada obat yang
tepat untuk menyembuhkan pasien thalasemia.
Transfusi darah diberikan jika kadar Hb telah rendah sekali (kurang dari 6 gr%)
atau bila anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.
§ Pemberian transfusi hingga Hb
mencapai 10 g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi darah yang berlebihan
akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis dapat dicegah dengan pemberian Deferoxamine(desferal).
§ Splenektomi dilakukan pada anak yang
lebih tua dari 2 tahun sebelum terjadi pembesaran limpa/hemosiderosis,
disamping itu diberikan berbagai vitamin tanpa preparat besi.
G.
Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama,
sering terjadi gagal jantung. Transfuse darah yang berulang-ulang dan proses
hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga tertimbun
di dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan
llain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang mudah rupture akibat trauma yang ringan
kadang-kadang talasemia di sertai tanda hiperplenisme seperti leucopenia dan
trombositopenia. Kematian terutama di sebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
H.
Pengkajian
1.
Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di
sekitar laut Tengah (Mediteranial) seperti Turki, Yunani, dll. Di Indonesia
sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit
darah yang paling banyak diderita.
2.
Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala
klinisnya jelas, gejala telah terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun,
sedangkan pada thalasemia minor biasanya anak akan dibawa ke RS setelah usia 4
tahun.
3.
Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran
pernapasan atas atau infeksi lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang
berfungsi sebagai alat transport.
4.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Seirng didapatkan data adanya kecenderungan
gangguan terhadap tumbang sejak masih bayi. Terutama untuk thalasemia mayor,
pertumbuhan fisik anak, adalah kecil untuk umurnya dan adanya keterlambatan
dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan ramput pupis dan
ketiak, kecerdasan anak juga mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia
minor, sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5.
Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah
makan, sehingga BB rendah dan tidak sesuai usia.
6.
Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak
seusianya. Anak lebih banyak tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
7.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital,
jadi perlu diperiksa apakah orang tua juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya,
maka anak beresiko terkena talasemia mayor.
8.
Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core –
ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji
secara mendalam adanya faktor resiko talasemia. Apabila diduga ada faktor
resiko, maka ibu perlu diberitahukan resiko yang mungkin sering dialami oleh
anak setelah lahir.
9.
Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
§ Keluhan
utama yaitu lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
§ Kepala
dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas,
yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung),
jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
§ Mata
dan konjungtiva pucat dan kekuningan
§ Mulut
dan bibir terlihat kehitaman
§ Dada,
Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran jantung dan
disebabkan oleh anemia kronik.
§ Perut,
Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek nomegali).
§ Pertumbuhan
fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah normal
§ Pertumbuhan
organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai dengan baik.
Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan mungkin anak tidak
dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
§ Kulit,
Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi warna
kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya
penumpukan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
I.
Diagnosa
Keperawatan
1.
Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
3.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna
makanan/absorbsi nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah
normal.
4.
Resiko terjadi kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan sirkulasi dan neurologis.
5.
Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan
sekunder tidak adekuat, penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
6.
Kurang pengetahuan tentang prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak
mengenal sumber informasi.
J.
Intervensi
Keperawatan
1.
Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria
hasil :
§ Tidak
terjadi palpitasi
§ Kulit
tidak pucat
§ Membran
mukosa lembab
§ Keluaran
urine adekuat
§ Tidak
terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
§ Tidak
terjadi perubahan tekanan darah
§ Orientasi
klien baik.
Rencana
keperawatan / intervensi :
§ Awasi
tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa, dasar
kuku.
§ Tinggikan
kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan
hipotensi).
§ Selidiki
keluhan nyeri dada, palpitasi.
§ Kaji
respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori, bingung.
§ Catat
keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai
indikasi.
§ Kolaborasi
pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
§ Kolaborasi
dalam pemberian transfusi.
§ Awasi
ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.
2.
Intoleransi
aktivitas berhubungan degnan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan.
Kriteria hasil :
§ Menunjukkan
penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan dan Tb masih
dalam rentang normal pasien.
Intervensi
§ Kaji
kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan dalam
beraktivitas.
§ Awasi
tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
§ Catat
respin terhadap tingkat aktivitas.
§ Berikan
lingkungan yang tenang.
§ Pertahankan
tirah baring jika diindikasikan.
§ Ubah
posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
§ Prioritaskan
jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
§ Pilih
periode istirahat dengan periode aktivitas.
§ Beri
bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
§ Rencanakan
kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
§ Gerakan
teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
3.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna
/ ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi nutrien yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
§ Menunjukkan
peningkatan berat badan/ BB stabil.
§ Tidak
ada malnutrisi.
Intervensi
:
§ Kaji
riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
§ Observasi
dan catat masukan makanan pasien.
§ Timbang
BB tiap hari.
§ Beri
makanan sedikit tapi sering.
§ Observasi
dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang berhubungan.
§ Pertahankan
higiene mulut yang baik.
§ Kolaborasi
dengan ahli gizi.
§ Kolaborasi
Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin, Protein, dll.
§ Berikan
obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian Fe tidak
dianjurkan.
4.
Resiko terjadi kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan novrologis.
Kriteria hasil :
§ Kulit
utuh.
Intervensi
:
§ Kaji
integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan
ekskoriasi.
§ Ubah
posisi secara periodik.
§ Pertahankan
kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
5.
Resiko
infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat: penurunan Hb,
leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
§ Tidak
ada demam
§ Tidak
ada drainage purulen atau eritema
§ Ada
peningkatan penyembuhan luka
Intervensi :
§ Pertahankan
teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
§ Dorong
perubahan ambulasi yang sering.
§ Tingkatkan
masukan cairan yang adekuat.
§ Pantau
dan batasi pengunjung.
§ Pantau
tanda-tanda vital.
§ Kolaborasi
dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
6.
Kurang pengetahuan tentang prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi dan tidak
mengenal sumber informasi.
Kriteria
hasil :
§ Menyatakan
pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana pengobatan.
§ Mengidentifikasi
faktor penyebab.
§ Melakukan
tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi :
§ Berikan
informasi tentang thalasemia secara spesifik.
§ Diskusikan
kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya thalasemia.
§ Rujuk
ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara psikologis.
§ Konseling
keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini keadaan janin melalui air
ketuban dan konseling perinahan: mengajurkan untuk tidak menikah dengan sesama
penderita thalasemia, baik mayor maupun minor.
DAFTAR PUSTAKA
Margan Speer, Kathleen. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan
Pediatrik dengan Clinical Pathway Edisi 3. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit.
Jakarta: EGC
Diposting oleh Yoedhas Flyingdutchman, tanggal 7
Januari 2002. Askep Thalasemia
Diposting oleh Harnawatiaj, tanggal 26 Maret 2008.
Askep Thalasemia
Diposting oleh Maisya, tanggal 5 April 2010, Askep
Thalasemia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar